Kali ini saya melepas lelah dengan berkeliling kota banjarbaru-martapura -ga hanya keliling sih, tapi sekalian ngantar si ibu ke pasar :$-. Hari minggu ini jalanan kota sangat ramai sekali bahkan sangat sesak oleh berbagai jenis kendaraan. Saya pun sempat mengalami kemacetan ketika akan melintas di sebuah lampu merah. Belum lagi terik matahari yang serasa tidak bersahabat siang ini. Asap kendaraan. Debu jalanan. Polusi dari truk-truk batu bara. Tidak ketinggalan bunyi klakson yang bersahut-sahutan dari beberapa mobil di belakang kami, karena tidak sabar menunggu antrian lampu merah yang sangat panjang.
Huff… Akhirnya lampu hijau juga nih, lirihku. Dengan bergegas kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pasar martapura yang terkenal dengan took-toko berbagai macam perhiasannya itu -sempat-sempatnya promosi :D-. Setelah beberapa waktu berjalan mengitari pasar, akhirnya ketemu juga barang-barang yang dicari si ibu. Hari libur ini keadaan pasar sangat amat ramai pengunjung. Ibaratnya semua manusia pada hari ini keluar dari tempat persembunyiannya untuk sejenak berlibur dan bersenang-senang. Saya jadi teringat ketika menonton sebuah sinetron yang mengambil lokasi syuting di taman di depan pasar ini. Indah juga ya taman itu kalo diperhatikan :).
Canda tawa dari pengunjung pasar serasa bersahut-sahutan. Begitu juga transaksi tawar-menawar antara calon pembeli dan pedagang pakaian di sepanjang lorong pasar yang kami lewati. Selayang pandang kami memperhatikan beberapa pedagang kain dan pakaian jadi yang sibuk merapikan susunan barang dagangannya. Ada yang sedikit berbeda dari mereka. Ohhh... Ternyata setelah memperhatikan dengan seksama, rupanya pedagang ini adalah keturunan dari bangsa Arab dan beberapa diantaranya dari bangsa India. Pantas saja agak berbeda fikirku. Lalu muncul pertanyaan yang mengusik benakku saat itu, “adakah orang pribumi indonesia yang melakukan hal sama seperti mereka di negara mereka (Arab dan India)?”. Dan jawaban pun seketika melintas dari diri saya sendiri, “tentu saja ada, bila Allah berkenan”. Saya pun tersenyum.
Wahhh... Nyaman sekali rasanya bisa berehat melepas lelah dengan berjalan-jalan bersama keluarga. Walaupun tak harus pergi ke tempat yang mahal, tak harus membeli sesuatu yang mahal, tak harus memakai sesuatu yang mahal. Namun rasa nyaman itu tak akan pernah bisa terbayar sekedar dengan sesuatu yang mahal. Hanya rasa syukur yang bisa membuat kita merasakan kepuasaan. Bukan perasaan selalu berkekurangan. Ya, sekali lagi saya bersyukur masih diberikan kesempatan dan waktu untuk berehat, tak harus bekerja setiap saat.
Memang benar kata orang tua. Bila urusan dunia, maka lihatlah ke bawah, dan bila urusan akhirat maka lihatlah ke atas -jangan dibolak-balik lho ya :D-. Karena bila menyangkut urusan dunia ini kita malah selalu melihat ke atas, mungkin kita akan menjadi orang yang merugi dan sangat sukar untuk bersyukur. Tidak diragukan lagi, memang demikian adanya. Dan akhirnya yang menjadi korban atas kesalahan dalam pemahaman ini adalah diri kita sendiri. Karena terus menerus dituntut untuk memiliki dan mendapatkan -hal ihwal keduniaan- yang lebih dan lebih lagi.